Kamis

OLEH I KETUT SEKEN

SIWARATRI

1. Pengertian Siwaratri

Istilah yang lengkap mengenai Siwaratri adalah Siwaratrikalpa yang berarti Brata Siwaratri. Untuk memperoleh gambaran pengertian Siwaratrikalpa, baiklah saya akan kutipkan perkataan Maha Rsi Wasistha kepada raja Dilipa dalam lontar Padmabhuana sebagai berikut :

Srnu rajan prayakayami sivaratrivratah tava vratanam uttaman sukene

chivalokaikasadhanam,

Maghaphalgunayer madhye kranapakno caturdasi sivaratri vijnayo narvapapapaharini.

Krtopavana toyam siwam arsanti jageatah bilvapatrtis caturyaman teyanti sivarulyatam.

Na tapobhir na danais cca na va japyasamadhibhih prapyate tatphalam rajan nopavasamakhadibhih.

Guhyad guhyatarah loka vratam otas chivapriyam tvayapi khalu narvatra na prakasyam idam vratam.

Bhudaranam yathasmarus tojasam bhaskaro yatha dvipadam ca yatha viprah kapilova caruspadam.

Japyanam iva gayatri rasanam amratam yatha purusanam yatha visruh strinam yadvad arundhati.

Sivaratrivratad rajan vratanam uttamam tatha sivaratir mahavahnir bhavanicasamanvita.

Dahaty svarito yogao chuskardam kalmasedhanam otat yo kathitam rajan

sivaratrivratam mahat evam eva pura dovyai mahadevana bhasitam.

Artinya :

Tuhanku, dengarkan, dan saya akan menerangkan kepada Tuanku tentang brata malam Siwa, yang jelas merupakan brata yang paling istimewa, yaitu jalan untuk mencapai sorganya Siwa.

Malam ke 14 yang gelap pada pertengahan bulan Magha ( sasih kepitu ) atau phalguna ( sasih Kaulu ) haruslah dikenal sebagai malam Siwa yang membebaskan semua dosa.

Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur, berbhakti kepada Dewa Siwa dengan daun bila selama malam itu mendapatkan identitas denga Dewa Siwa.

Bahwa imbalannya tidak diperoleh dengan kekerasan, tidak juga dengan hadiah-hadiah, semadhi, doa, puasa dan lain-lain.

Brata ini adalah sangat rahasia di dunia ini, dan tentu saja tidak boleh dibuka di mana-mana walaupun oleh Tuhanku sendiri.

Brata malam Siwa merupakan brata yang paling istimewa, ibarat Merunya pegunungan, matahari dari apa saja yang bersinar, guru dari mahluk-mahluk yang berkaki empat, gayatrinya doa, amertanya cairan, Wisnunya orang laki, Arundhatinya orang wanita.

Malam Siwa yang diasosiasikan dengan Dewa Bhavani, begitu terjadi kontak, membakar bahan bakarnya dosa, baik basah maupun kering. Brata agung malam Siwa ini, telah diuraikan kepada Tuanku seperti telah diceritrakan kepada Dewi sebelumnya oleh Mahadewa.

2. Tata Cara Melaksanakan Siwaratri

Tata cara melaksanakan Brata Siwaratrikalpa, disebutkan dalam pustaka “Siwaratribrata”. Koleksi Ida Pedanda Gede Pemaron di Munggu. Di dalam pustaka ini diberikan petunjuk terutama bagi sulinggih dalam melakukan Siwaratrikalpa, lengkap dengan puja mantranya, pendahuan (menggala) pustaka ini berbunyi:

“Rihankrama Siwaratri brata uttama, tindakira sang pandhita siwa mwang budha, sang meharep lepas saking atma sengsara, siddhaning yasa, tapa, brata, dhyana, yoga, semadi mwang kritinya………”

artinya:

“Inilah tatacara melaksanakan Brata Siwaratri utama, yang diharapkan terlepasnya atma dari sengsara, berhasilnya yasa, tapa, brata, yoga, semadhi serta kirtinya………”

C. Hooykaas dalam bukunya “Agama Tirtha” mencantumkan transkrip naskah upacara Siwaratri, terutama mengenai upacaranya. Menggala dari naskah itu menyebutkan:

“Iti kalingan Brata Siwaratri, caru ring sanggar tawang, 4 dandanan tekang catur, banten gana, banten sumur, banten pelinggihan (saha) dandanan swang………”

artinya:

Inilah keterangan mengenai Brata Siwaratri.

Caru di (sor) sanggar tawang, dandanan 4 lengkap dengan catur banten gana, banten sumur, banten pelinggihan (daksina pelinggih) disertai dandanan masing-masing……..

Saya berusaha mensinkrunkan isi kedua naskah itu dan mencoba mengambil isinya, karena betapa sulitnya menyusun suatu tata cara pelaksanaannya yang didasarkan atas petunjuk yang kurang lengkap dan tradisi yang berpariasi. Atas dasar kedua naskah itu maka pelaksanaan upacara-upacara Siwaratri dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Sadhaka dan walaka. Dalam hubungan ini ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu: Upakaranya, Bratanya, dan Tatacaranya. Inipun masih dibedakan lagi menurut tingkata: Uttama, Madhya dan Nistha.

A. Upacara Ciwaratri untuk Sadhaka.

Upakara

a. Uttama:

Mendirikan sanggar tawang berisi banten catur wedhya, daksina sarwapat 1, suci wedhya 3, dandanan, peras, ajuman, sodan, salaran, kelanan, sorohan, karangan itik, pangkonan dan rayunan prangkat, ulam itik. Di hadapan mepuja: banten gebogan, bubuh mesaji, sogo liwet, bubur putih, bubur bang, bubur wilis misi tatakhijo (kacang ijo), sesayut pancalingga, pras gede, tumpeng, pengambian, prayascita luwih, penyeneng, pedudusan agung, pengerosikan, lingga diisi rerajahan padmanglayang dan kain sutra kuning diisi rerajahan padmasana. Selain itu dibuatkan lingga emas diisi dengan kain sutra kuning sebagai Ciwapratistha. Ayaban saha bebangkit dan sesayut durmanggala.

Bunga berwarna-warni yaitu: menuh, kemiri, gambir, kecubung, weduri putih, pudak, angsoka, sari tangguli, tanjung, kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih, merak, daun bila 108 lembar, wangi-wangian dan padang lepas. Di pelinggih kamimitan berisi banten pejati selengkapnya asoroh. Di bawah: banten caru ayam brumbun biakala, gelarsanga, segehan agung.

b. Madhya

Banten seperti pada tingkat uttama, tetapi di sanggah surya memakai banten ardhanareswari tidak memakai catur, daksina, sorohan suci alit, peras, sodan, kelanan. Dihadapan mepuja: banten ayaban mejerimpen tanpa bebangkit, padudusan alit, bubur putih, bubur wilis berisi tatak hijo, mesayut pancalingga, tumpeng, pengambian, prayascita, penyeneng, pangaresikan. Lingga mas diganti dengan lingga perak dan dihiasi dengan pucuk daun bila 108 lembar seperti pada tingkan uttama.Di kamimitan berisi banten pejati asoroh. Di bawah (natar), banten caru ayam brumbun, biakala, segehan gung.

c. Nistha

Di sanggar surya banten pejati asoroh. Dihadapan mepuja benten prayascita, penyeneng, pangeresikan, sesayut panca lingga, ayaban, sakabuatan. Di halaman (natar) banten segehan agung, banten kamimitan, pejati asoroh, lingga dibuat dari bunga widuri putih dihiasi pucuk daun pisang kayu, bunga bercarbang dan daun bila 108 lembar seperti di atas.

Brata

a. Uttama

Melakukan brata yaitu: Monobrata (tidak berbicara dan duduk beryoga) setelah melakukan persembahyangan dan mepuja Argha serta Pasanglingga yang didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama, Upawasa (tidak makan, tidak minum), Jagra (tidak tidur). Ini dilakukan 36 jam yaitu mulai matahari terbit hari panglong 14 sasih kepitu sampai matahari terbenam hari tilem sasih kepitu. Di samping itu upakaranya lengkap seperti di atas.

c.Madhya

Upakara seperti tersebut di atas dan bersembahyang dan mepuja Argha dan Pasanglingga. Bisa tanpa Monobrata, tetapi melakukan Upawasa dan melakukan jara. Untuk menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan membaca pustaka yang memuat sastra agama, Itihasa atau Wiracarita. Inipun harus dilakukan 36 jam seperti tersebut di tingkau uttama.

c. Nistha

Brata yang dilakkan bisa dikurangi dar yang semestinya, bisa tanpa melakukan Monobrata, melainkan hanya bersembayang dan mepuja parikrama seperti biasa, tanpa melakukan Upawasa, tetapi harus melakukan jagra selama 36 jam seperti tersebut tadi untuk menghilangkan ngantuk, dibacalah kitab pustaka sastra agama, Itihasa atau Wiracarita. Bisa juga berjalan-jalan kesana-kemari ketempat-tempat suci.

Tata Cara

Bagi Sadhaka yang Nabenya masih ada, terlebih dahulu melakukan padacemani kepada Nabenya. Ini dilakukan pada siang hari pada panglong sasih kepitu. Setelah itu pada sore harinya bersembahyang di Kamimitan yang maksudnya mempermaklumkan kepada leluhur yang telah suci bahwa yang bersangkutan melaksanakan brata Siwaratri dan memohon agar leluhurnya memberikan tuntunan batin untuk mencapai tujuan.

Pada waktu mulai memasuki malam hari, pemujaan dilakukan dengan puja Argha dan Pasanglingga didahului dengan Suryasewana dan Pujaparikrama. Pemujaan yang demikian itu dalakukan tiga kali yaitu: mulai memasuki hari malam, pada tengah malam, dan menjelang pagi besoknya.

Persembahyangan dipusatkan pada Dewa Ciwamahadewa sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling sempurna yang diproyeksikan atau dipratistanakan kedalam lingga yang dibuat itu. Sarana yang dipakai dalam menyembah Siwalingga adalah semining maha ( kedapan daun bila ) dan bunga kuning. Maksud persembahyangan itu adalah memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Siwamahadewa untuk melebur dosa dan papa neraka Siajamana (yang malakukan brata Siwaratri itu). Di dalam sembahyang itu pikiran dan bathin dipusatkan seperti dalam keadaan yoga semadhi, sehingga muncul suatu getaran-getaran suci pertanda kontaknya dengan Dewa Siwamahadewa. Selain persembahyangan pokok ditujukan kepada Dewa Siwamahadewa, juga sembahyang kepada Dewa Samodaya seperti Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana dan Gangga. Ini adalah sembahyang kepada Dewa Samodaya ketika sembahynag mulai memasuki malam hari. Untuk sembahyang tengah malam, maka Dewa Samodaya yang disembah adalah: Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara dan Giriputri. Untuk sembahyang pagi-pagi buta besok paginya Dewa Samodaya disembah adalah Suryaradhitya, Brahma, Wisnu, Iswara dan Kumara.

Selesai sembahyang dilanjutkan dengan matirtha kakuluh yang dimohon kehadapan Dewa Siwamahadewa. Sesudah selesai sembahyang fase pertama dan juga setelah nunas tirtha kakuluh, lalu daun bila itu tadi diambil dan dijatuhkan kedalam sangku berisi air, dan cara menjatuhkannya adalah satu-persatu sampai habis 108 lembar disertai dengan padang lepas (dukut droman) dan bunga-bunga yang berwarna warni.

Besok paginya setelah selesai sembahyang dan matirtha kakuluh lalu nyurud dan yang boleh dimakan adalah korok nasi wilet yang disajikan itu hanya diisi garam dan boleh minum air putih sampai nanti hari telah malam kembali (ini bagi yang melakukan brata Upawasa) barulah selesai brata Siwaratri itu. Ini adalah tatacara seluruh tingkatan upacara Siwaratri. Yang berbeda adalah jenis upakaranya yang dipakai dan brata yang dijalaninya.

B. Upacara Siwaratri untuk Walaka

Upakara

a. Uttama

Banten di Sanggar Surya adalah: catur, dandanan, banten gana, daksina, sarwa pat, suci, peras kelanan, dan banten sumur. Banten dihadapan sembahyang adalah: banten pelinggih (daksina tapakan), dandanan, bubur putih, bubur barak, bubur wilis winoran kotak hijo, pulogan, bali, sesayut, pengambian, peras, prayascita, lis, pengeresikan. Selain itu dibuat lingga berisi prerahi emas diletakkan di atas daun pisang emas berisi rerajahan padmasana ring sor dan rerajahan padma nglayang ring luhur, berisi daun cemara, daun suala, daun kalovi, daun bila 108 lembar, bunga-bungaan yaitu: widuri putih, putat, angsoka, sari tangguli, tunjung, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih merah, padang lepas dan wangi-wangian. Banten di Kamimitan adalah pejati asoroh, banten ring sor adalah caru ayam brumbun, biakala dan gelar sanga.

b. Madhya

Banten di Sanggar Surya adalah: daksina sarwapat, dewa-dewi, peras suci, kelanan. Banten dihadapan sembahyang adalah: sesayut, pengambian, prayascita, pengeresikan dan tumpeng ayaban, saka bwatan. Dibuatkan lingga dengan prerahi kayu cendana beralaskan daun pisang kayu, bunga-bungaan seperti tersebut tadi, padang lepas, daun bila 108 lembar dan wangi-wangan. Banten di Kamimitan adalah pejati asoroh. Banten ring sor adalah biakala dan segehan agung.

c. Nistha

Banten di Sanggah Surya adalah pejati asoroh. Di hadapan sembahyang, banten: sesayut, pengambian, prayascita. Dibuatkan lingga dengan bunga widuri putih dialasi daun pisang kayu, bunga-bungaan berwarna, padang lepas, daun bila 108 lembar dan wangi-wangian. Banten di Kamimitan adalah canang, daksina. Banten ring sor adalah sorohan nasi cacahan.

Brata

a. Uttama

Upakaranya lengkap seperti tersebut di atas tadi. Melakukan monebrata, upawasa, jagra selama 36 jam, mulai dari matahari terbit pada hari panglong 14 sasih kepitu sampai matahari terbenam pada tilem sasih kepitu.

b. Madhya

Upakaranya lengkap seperti tersebut dieatas. Tidak melakukan monobrata, tetapi melakukan upawasa dan jagra selama 36 jam seperti di atas tadi. Untuk menghilangkan ngantuk, bisa dihibur dengan mambaca sastra agama, Itihasa atau Wiracarita.

c. Nistha

Upakaranya boleh tidak lengkap atau dikurangi dari yang semestinya. Tidak melakukan monebrata dan upawasa, tetapi hanya melakukan jagra selama 36 jam seperti tersebut di atas. Untuk menghilangkan ngantuk boleh berjalan-jalan ketempat-tempat suci atau membaca sastra agama, Itihasa atapun Wiacarita.

Tatacara Pelaksanaannya

Terlebih dahulu pada pagi hari panglong 14 sasih kepitu, melakukan suci laksana atau pengeningan pikiran . Sore harinya melakukan persembahyangan kepada Surya Radhitya maksudnya mempermaklumkan dan mohon agar beliau menyaksikan pelaksanaan Brata Siwaratri yang dilakukan. Setelah itu bersembahyang di Kamimitan maksudnya mempermaklumkan dan memohon tuntunan bathin agar sukses dalam melakukan Brata Siwaratri.

Setelah hari mulai malam, maka mulai melakukan persembahyangan dipusatkan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwamahadewa yang dipratistanakan kedalam lingga itu. Selain itu juga persembahynag ditujukan kepada Dewa Samodaya yaitu: Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana, dan Gangga.

Persembahyangan fase kedua yaitu tengah malam, juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta pula Dewa Samodaya yaitu: Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Giriputri.

Persembahyangan fase ketiga yaitu: pagi-pagi buta besoknya juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serat Dewa Samodaya yaitu: Surya Radhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Kumara.

Setiap selesai sembahyang diikuti dengan metirtha pakuluh yang dimohonkan kepada Dewa Siwamahadewa.

Untuk persembayangan fase pertama setelah selesai sembahyang serta telah matirtha kakuluh, lalu daun bila tadi diambil dan dijatuhkan kedalam sangku berisi air dan cara menjatuhkannya itu adalah satu persatu sampai habis 108 lembar disertai pula padang dreman (padang lepas) dan bunga-bungan yang beraneka warna.

Besok paginya setelah selesai sembahyang dan matirtha kakuluh, dilanjutkan dengan nyurud (yadnya sesa) dan yang boleh dimakan hanyalah kerak nasi wilet yang disajikan. itu hanya berisis garam dan boleh minum air putih, sampai hari telah malam kembali (ini bagi yang melakukan upawasa). Dengan demikian selesailah sudah tatacara pelaksanaan Siwaratri itu. Ini berlaku untuk semua tingkatan upacara Siwaratri, yang berbeda adalah jenis upakara yang dipakai dan brata yang dijalani.

Mengenai tatacara dan sarana yang dipakai dalam melaksanakan Brata Siwaratri, ada pula disebutkan dala Kekawin Siwaratrikalpa sarga 36 dan 37, namun tidak selengkap seperti yang disebutkan dalam pustaka Siwaratri Brata. Di dalam Kekawin Ciwaratrikalpa tidak disebutkan bantennya dan tidak disebutkan mantra dan stawa yang dipakai, sedangkan dalam pustaka Siwaratri Brata disebutkan hal itu.

3. Kasukseman (Falsafah) Siwaratri

Pada bagian ini saya coba mengemukakan Kesuksmaan Siwaratri yang sudah tentu berdasarkan analisis yang saya lakukan sendiri. Dalam hubungan ini saya teringat dalam makalah yang dibawakan oleh Bapak I Made Japa dalam sarasehan bahasa daerah pada tanggal 1 Januari 1981 di Denpasar yang memberikan pembahasan terhadap Kekawin Lubdhaka ditinjau dari segi kesuksmaan atau falsafah, namun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang saya kemukakan di sini.

Sebagai kajian saya mergunakan naskah Kekawin Siwaratrikalpa dan Pustaka Siwaratri Brata yang bersifat tutur. Kekawin Siwaratrikalpa terdiri dari 39 sarga, sampai sarga yang terakhir merupakan colophon, dan pada colophon itulah kita jumpai nama Kekawin Siwaratrikalpa yang digubah oleh Empu Tanakung sekitar tahun 1466-1478 pada masa pemerintahan Sri Adi Suraprabhawa di Jawa Timur.

Untuk bahan analisis, maka di sini saya sajikan Ceritra Lubdhaka dalam Kekawin Siwaratrikalpa sebagai berikut :

“Diceritakan seorang pemburu bernama Lubdhaka. Mereka sekeluarga tinggal di puncak gunung yang indah. Pekerjaan si Lubdhaka setiap hari adalah berburu binatang kehutan membunuh harimau, babihutan, gajah, dan badak serta semua binatang diburunya. Pada suatu hari yaitu pada hari Panglong ke 14 sasih Kepitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ketujuh), pagi-pagi hari ia sudah meninggalkn rumahnya untuk berburu. Sudah sehari penuh ia menyelusuri hutan rimba dan lembah-lembah, ia tidak memperoleh seekorpun binatang buruan. Ketika itu si Lubdhaka sudah jauh dari rumahnya dan haripun sudah menjelang malam. Untuk kembali pulang itu tidak mungkin ia lakukan, karena hari sudah mulai gelap dan takut disergap binatang buas. Lalu ia menuju kesuatu telaga dan di tepi telaga itulah ia berhenti sambil menunggu kalau-kalau ada binatang yang datang ketelaga itu untuk meminum air. Karena hari sudah gelap, si Lubdhaka takut untuk tinggl di bawah, lalu ia naik memanjat pohon kayu bila yang ada di pinggir telaga yang dahannya menjulur ke atas telaga itu. Di dahan itulah ia duduk. Tidur di atas pohon itu juga ia tidak berani, takut kalau jatuh. Untuk menghilangkan kantuknya, maka dipetiknyalah daun bila itu dan dijatuhkan ke dalam telaga.

Tidak diduga di dalam air telaga itu ada sebuah lingga yang muncul dengan sendirinya. Lingga itu adalah lingganya Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa. Kebetulan pada malam itu adalah malam yang baik untuk melakukan pemujaan terhadap Dewa Siwa. Pekerjaan memetik daun bila itu semalam penuh sampai pagi besoknya, sehingga ia melek semalam suntuk.

Keesokan harinya si Lubdhaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekorpun memperoleh binatang buruan. Sesampainya di rumah ia disambut oleh anak dan istrinya.

Hari-hari berikutnya kembalilah ia melakukan pekerjaannya seperti biasa yaitu berburu binatang kehutan. Demikianlah pekerjaan ia sehari-hari berburu binatang untuk penghidupannya.

Pada suwaktu ketika, si Lubdhaka jatuh sakit. Sakitnya makin menjadi-jadi dan akhirnya ia menemui ajalnya. Setelah ia mati maka atmanya mangalami kebingungan dan kegelapan karena semasa hidupnya pekerjaannya senantiasa membunuh binatang. Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada malam Siwa. Dewa Siwa mengutus abdinya (Watek Gana) menyambut atma si Lubdhaka untuk dibawa ke Siwaloka. Saat itu datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka. Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan memperebutkan atma si Lubdhaka. Dalam peperangan itu laskar Dewa Siwa menang dan atma si Lubdhaka dibawa ke Siwaloka (Sorga) diberikan tempat yang baik.

Dewa Yamadipati memprotes karena merasa kurang adil atas tindakan Dewa Siwa itu. Lalu beliau menghadap Dewa Siwa dan menuntut agar atma si Lubdhka dibawa ke Neraka karena perbuatan semasa hidupnya selalu membunuh binatang. Dewa Siwa menjelaskan masalahnya, bahwa si Lubdhaka itu pernah memujanya pada malam hari tepat malam Dewa Siwa. Oleh karena itulah ia mendapat pahala masuk Surga.

Hikmah apakah yang dapat kita ambil dari ceritra di atas ? Ceritra di atas sudah tentu mitologi, tetapi mempunyai tendensi tertentu dan mendalam. Apabila tidak dikupas dan dicari hakekatnya, maka kita akan mendapat gambaran bahwa karena telah memuja Dewa Siwa semalam suntuk pada hari panglong 14 sasih kepitu orang akan masuk Surga. Alangkah bahagianya mendapat surga dan alangkah gampangnya mendapat surga ? Bagaimana halnya dengan hukum karma?.

Dalam pendekatan filosofis ini, ada beberapa hal yang terlebih dahulu perlu mendapat perhatian. Menurut hemat saya, bahwa seorang Rakawi mengubah suatu karya sastra adalah mempunyai tujuan tertentu. Mereka memandang perlu suatu pengetahuan atau suatu hal penting untuk disebarluaskan kepada khalayak agar dihayati dan dalam hal-hal tertentu dilaksanakan.

Pengubahan karya sastra atau kekawin, dilandasi oleh konsep dasar yang dikembangkan dalam bentuk seni sastra dan dikaitkna dengan sesuatu ceritra, ada dikaitkan dengan epos Ramayana atau Mahabarata, dan ada pula yang dikaitkan dengan Purana atau ajaran agama. Ada juga karya sastra yang tidak mengkaitkannya dengan suatu ceritra, melainkan langsung menguraikan konsep dasar widyanegara, kekawin Arjuna Wiwaha menonjolkan konsep dasar filsafat Wedanta dan Yoga, kekawin Baratayudha menonjolkan konsep dasar ksatria, kekawin Sutasoma menonjolkan konsep dasar Buddha Mahayana yang telah sinkritis dengan Siwaisme, kekawin Nirarthaprakerta menonjolkan konsep dasar filsafat Samkhya.

Demikian pula kekawin Lubdhaka menonjolkan konsep dasar Yoga. Dalam pengertian Yoga juga terdapat brata. Maka itulah kekawin ini bernama Siwaratrikalpa yang berarti brata yang dilakukan pada hari malamnya Dewa Siwa. Di dalam colophon kekawin itu disebutkan:

“Nahan hingan iking kathakhya Siwaratrikalpa…………..

Filsafat Yoga mengajarkan filsafat ajarannya kepada Samkhya. Kalau filsafat Samkhya terdiri dari 25 Tattwas, maka Yoga menambah satu Tattwas lagi yang itu Iswara, sehingga menjadi 26 Tattwas. Maka itulah Yoga sering dirangkaikan dengan Samkhya, sehingga disebut Samkhya Yoga, sedangkan Samkhya saja disebut Nir Iswara Samkhya. Di Indonesia (Bali), Samkhya Yoga disebut Siwatattwa atau hakekat ajaran Siwa. Di sinilah kita melihat implikasi filsafat Hindu dengan Agama Hindu, sehingga Agama Hindu dikaitkan dengan agama yang filosofis, bukan agama yang theologis.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam mengadakan pendekatan filosofis terhadap suatu karya sastra adalah adanya beberapa simbolisasi tendensius di dalam karya sastra itu sendiri. Untuk menemukan simbolisasi itu diperlukan analisis yang tajam dan kadang-kadang tidak harus terpaku pada aturan sastra.

Atas dasar itu tadi, maka saya berusaha menemukan simbolisasi yang terkandung dalam kekawin Siwaratrikalpa dan sekaligus berusaha menemukan hakekat pada brata Siwaratri itu sendiri. Namun apa-apa yang saya kemukakan di sini adalah suatu usaha maksimal yang kebenarannya perlu dipergunjingkan di dalam pertemuan ini.

Kata Lubdhaka (Sansekerit) berarti pemburu. Pemburu adalah orang yang selalu mengejar dan mencari sesuatu. Yang diburunya adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat yang berarti ini yang mulia atau hakekat. Kata twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat ini atau bersifat hakekat. Dengan demikian yang bernama Lubdhaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.

Apakah inti hakekat dalam kehidupan ini ?. Untuk apa kita hidup ini ?. Arti dari pada hidup ini adalah memperoleh kesempatan berkarma yang baik untuk menebus karma yang tidak baik dimasa kehidupan-kehidupan yang lampau. Apabila Subhakarma kita beri nilai plus dan Asubhakarma kita beri nilai min, maka nilai min diimbangi dengan nilai plus supaya tercapai keseimbangan. Subha-Asubhakarma yang seimbang kita beri nilai nol. Pada waktu mencapai nilai nol inilah atma terlepas dari hukum karma dan karenanya atma terlepas pula dari lingkaran punarbhawa, sehingga mencapai moksa. Inilah arti hakekat kehidupan ini. Dengan lain perkataan, tujuan hidup ini adalah tidak hidup lagi dalam artian punarbhawa.

Si Lubdhaka dikatakan bertempat tinggal di puncak gunung yang indah (………..sthiyangher i puncak nikang acala cabhyatyanta ramyalanga……..). di dalam bahasa sansekerta, gunung itu disebut acala yang artinya tidak bergerak. Gunung juga disebut lingga-acala artinya lingga yang tidak bergerak atau tetap. Maka itulah menurut pandangan Hindu, para dewa dipuja dipuncak gunung. Dewa Siwa sendiri dipuja di puncak gunung Kaliasa. Bukankah pendirian pura besakih berdasarkan konsepsi ini?. Si Lubdhaka bertempat tinggal di puncak gunung, adalah melukiskan orang yang taat dan tekun memuja Dewa Siwa (Siwa-lingga) sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling utama dan sekaligus pula melukiskan sebagai seorang yogi (Samkhya Yoga disebut Siwatattwa).

Si Lubdhaka dikatakan pekerjaanya memating mong, wok gaja mwang wara. Memati berasal dari kata pati. Kata pati ada yang berarti air, ada pula berarti penguasa. Contoh: tambanya ruaning rangda lumaka pipis not patinye (obatnya: daun beluntas diremas ambil airnya.) contoh yang kedua: kepanggih irikang tegal milu rikarya sang bhupatti (dijumpainya di tegal ) kuru (lalu) ikut serta menemani perjalanan penguasa bumi (raja).

Di dalam bahasa Jawa Kuna, nama lain dari mong adalah wiagra. Apabila kata wiagra ini kita uraikan, maka kita akan memperolah kata wi yang artinya jauh, utama dan kata agra yang berarti puncak. Wiagra berarti puncak yang jauh, puncak yang tertinggi atau puncak yang uttama. Apakah puncak yang uttama adalah yoga ?. Dalam Yoga-Kundalini disebutkan bahwa apabila seorang yogi mendapat tingkatan yang tetinggi, maka sama karmanya terbakar habis dan ia mencapai kebebasan dari punarbhawa. Inipun yang serupa juga kita baca dalam pustaka Wrasphati tatwa 74, yang mengatakan sebagai berikut :

“Yapwan tiksna samadri nira sang yogiswara geseng pwokeng tattwa I sor ning pradhana tattwa ketaken ing triguna tattwa”

artinya:

Apabila samadhinya Sang Yogiswara telah mencapai puncaknya, maka terbakarlah tattwa yang tingkatannya di bawah pradhana tattwa sampai kepada tri guna tattwa (maksudnya Sang Yogiswara telah menembus rintangan-rintangan ikatan prakerti untuk mencapai kebebasan dari punarbhawa).

Selanjutnya mengenai wok. Di dalam kekawin Arjuna Wiwaha, kata wok itu disamakan dengan kata waraha yang secara harpiah berarti babi hutan. Kata waraha dapat pula kita pandang berasal dari kata warah yang mendapat akhiran a yang artinya anugrah atau pawisik atau wahyu. Kata waraha juga bisa berubah menjadi waraha lalu menjadi wara, karena fonim h bisa hilang atau tidak diucapkan seperti pada kata kerthawara yang artinya anugrah yang baik.

Mengenai gaja. Kata gaja atau gajah adalah kata dalam bahasa sansekerta. Gaja lain katanya hasti. Terhadap kata hasti ini diperlukan aturan bahasa Jawa Tengahan yaitu apa yang disebut dengan istilah dwiwasana. Maka dari itu kata hasti lalu di-dwiwasanakan menjadi hastiti yang artinya senantiasa berbakti kepada Hyang Widhi sebagai realisasi dari Bhakti Marga. Perubahan kata hasti itu adalah memungkinkan kalau kita melihat di dalam kekawin Barathayudha ada disebutkan kata hastina yang artinya gajahoya.

Mengenai kata warak, kita tidak bisa menganalisis dari etimologi dan sinonim. Kalau kita ingat bahwa binatang warak atau badak itu adalah binatang yang digolongkan suci dalam upakara yadnya Agama Hindu, maka analisis kita adalah dari segi ini. Air gesekan gerahamnya badak (asaban baham warak) diperlukan dalam jenis upakara tertentu sebagai unsur penting. Demikian pula darah badak diperlukan bagi jenis upakara tertentu . badak adalah binatang suci, makanannya adalah daun-daunan. Dengan demikian dapatlah diambil simbolisasi bahwa badak melambangkan kesucian.

Memating mong, gaja mwang warak, berarti telah menguasai atau mendapatkan puncak yoga atau semadhi, telah mendapatkan anugrah Hyang Widhi karena tekun astiti bakti kepada Hyang Widhi dengan kesucian bathin. Inilah makna yang terkandung di dalamnya.

Di dalam cerita si Lubdhaka dikatakan naik ke dahan pohon bila (irika tikang nisada mamenek pang ing maja…….). Apa yang dimaksudkan?. Walaupun di dalam teks tidak tedapat kata puhun (pohon), namun yang dimaksudkan dengan memenek bang ing maja adalah naik dahan pohon bila. Di dalam Pustaka Tutur Suksma kita jumpai istilah kebatinan seperti: gulupuhun, kredhadesa, tampaking kuntul hanglayang, keris manjing urangka, galihing kangkung dsb. Secara kebatinan yang dimaksudkan gulupuhun adalah ibu jari kaki. Puhun dalam bahasa Jawa Kuna atau dalam bahasa Bali berarti pohon. Gulupuhun yang secara kebatinan berarti ibu jari kaki, dapat pula dimaksudkan sebagai titik tumpu untuk berdiri atau dengan kata lain adalah pangkal pendirian. Kalau kata pohon kita ganti dengan kata wit dalam teks kita sisipkan kata itu hingga menjadi kalimat yang berbunyi “……………memenek pang ing wit maja………….” (kalimat yang sempurna dari pada”…………memenek pang ing maja…………”), maka kata wit itu berarti pula pangkal atau asal. Kata maja atau wilya yang kemudian berubah menjadi bila, ini bisa dianalisis dari hukum perubahan bunyi dalam kata-kata Bahasa Indonesia. Kata bila dapat berubah menjadi wila mengikuti hukum PBW dan RDL yang berarti: perwira, teguh hati, tekun. Dengan analisis ini, maka naik pohon bila itu mengandung arti simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada atau berpangkal telak dari keteguhan hati atau ketekunan.

Selanjutnya diceritakan si Lubdhaka memetik-metik daun bila dijatuhkan kedalam telaga yang secara tiba-tiba muncul lingga di dalam telaga itu dan daun bila yang dijatuhkannya mengenai lingga itu. (di dalam kekawin tidak disebutkan jumlah daun bila yang dipetik, tetapi dalam pustaka Siwaratribrata disebutkan sejumlah 108 lembar. Kata don berarti tujuan atau dapat pula berarti perbuatan. (………..ia ngandong kema……… ia sengaja berbuat sesuatu kesana). Memetik-metik daun mengandung arti simbolik, bahwa ia menghitung-hitung perbuatan yang telah dilakukanya (subha-asubhakarma).

Apabila angka 108 itu dijumlahkan menjadilah ia angka 9, angkan 9 adalah angka yang tebesar. Ini merupakan simbolik dari pada perbuatan si Lubdhaka yag didasari oleh keteguhan hati atau ketekunan memuja Dewa Siwa adalah telah mencapai puncaknya.

Atas dasar analisis-analisis itu tadi, maka kita peroleh gambaran bahwa cerita Lubdhaka itu adalah simbolik dari seorang yogi yang tekun memuja Dewa Siwa sebagai manifestasi Hyang Widhi yang paling utama. Ia senantiasa mengejar hakekat yang mulia dan telah mendapatkan puncak yang tertinggi dalam yoga yaitu semadhi, telah mendapat anugrah atau wahyu kesucian dari Hyang Widhi, karena tekun serta teguh hati astiti bakti kehadapan Hyang Widhi yang dilandasi oleh batin yang suci. Ia senantiasa menghitung-hitung subha-asubhakarma yang dilakukan dan senantiasa melakukan subhakarma untuk menebus karmawasana yang digolongkan asubhakarma dimana kehidupannya dahulu sampai keduanya menjadi balance/sama.

Yogi yang demikian itu senantiasa melakukan “Siwa bhakti gineng lana ginawe”. Dewa Siwa selalu rumaketing citta, selalu menjadi titik sentrum dalam memujanya dan dalam yoganya. Wah……..betapa sulitnya menghubungkan diri (yuj) dengan Dewa Siwa. Sebagai suatu ilustrasi saya kutipkan suatu bait dari Puja Homa, sebagai berikut:

“Agni madhya Ravi Saiva

Ravi madhyastu Candramah
Candra madhya bhave Shuknah

Sukla madhya sthitah Sivah”.

Artinya:

Di dalam api adalah matahari

Di dalam matahari adalah bulan

Di dalam bulan adalah suci hening

Di dalam suci hening itulah Dewa Siwa berada.

Pada malam hari panglong 14 sasih kepitu, Dewa Siwa menurunkan ajaran yang bernama “Brata Siwaratri” yang memberikan pahala yang mulia. Di dalam sarga 34.4 kekawin Siwaratrikalpa disebutkan sebagai berikut:

“Thun kalewih ing bratenajarakon

mami niyate maweh phaladhika.

Tuwin milagaken saduskrta teher

masung aticaya bhoga bhagya len.

Awin tun angusir yamandha phalaning

jana gumayaken tikang brata

Sapapaka nika cirna den I phalaning

brata winuwusakenku, tan salah……….”.

Artinya:

Sungguh kemuliaan brata yang Aku ajarkan

dengan jelas memberikan pahala yang utama

Juga menghilangkan semua perbuatan yang tidak

baik lalu memberikan kebahagiaan dan

kesejahteraan yang menakjubkan

Hal itu tidak akan menuju yamaloka (neraka)

akibat atau hasil yang melakukan brata itu

Semua nerakanya lenyap dikarenakan oleh pahala

dari brata yang Aku ajarkan, (tidak masalah).

Brata Siwaratajani adalah suatu bentuk yoga. Yoga ada bermacam-macam seperti: Yogakundalini, Yoganidra, Yogasana dan lain-lainnya. Prinsip yoga adalah suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Pada malam hari panglong 14 sasih kepitu itu seorang Yogi yang telah sering melakukan yoga mendapatkan titik kulminasi dari yoganya yaitu semadhi. Semadhi berarti berkumpul atau atatu kontak dengan yang maha mulia. Sesuai dengan keterangan dalam pustaka Whraspati Tattwa di atas, maka bagi mereka yang telah mencapai semadhi, segala papa nerakanya terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bahaimaya) sebagai akibat dari matangnya yoga. Oleh karena papa neraka itu adalah akibat atau pahala dari dosa, maka hal itu juga berarti terleburnya dosa yang telah diperbuat.

Semadhi itu tidak lama, hanya satu atau dua detik saja, lalu atma kembali memasuki sarira. Atama yang kembali memasuki sarira seperti itu diistilahkan dengan keris manjing urangka. Apabila dalam keadaan semadhi atma tidak kembali memasuki sarira inilah yang disebut jalan mati yang benar seperti dibentangkan di dalam pustaka tutur kamoksan.

Semadhi dapat mencapai beberapa kali dalam yoga. Walaupun demikian, namun tidak setiap melakukan yoga akan dapat mencapai semadhi. Pengalaman pribadi menunjukan, bahwa semadhi itu sulit dicapai tetapi bisa dicapai karena…….Bhatara Ciwa tan keneng inangen-angen, apan sira wapaka……..

Menurut hemat saya, inilah hakekat Siwaratrikalpa ditinjau dari segi kesuksmaan yang kita laksanakan setiap hari panglong 14 sasih kepitu, memberikan hikmah yang tertinggi bagi cita-cita kehidupan umat Hindu. Oleh karenanya patutlah Siwaratri itu kita rayakan secara spesipik dengan brata Siwaratri.

Selasa

SEKILAS BESAKIH

Oleh: Drs I Ketut Seken, M.Si

Berbicara Pura Besakih tidak bisa lepas dengan kedatangan Rsi Markandia di Bali pada abad ke VIII, yang diawali dengan merambas hutan dengan anggotanya 8000 orang, namun gagal. setelah itu datang lagi dengan anggota 4000 orang akhirnya berhasil tetapi setelah diawali dengan mengadakan pemujaan berupa penanaman Panca Datu di Basukian/Besakih (Raja Purana Besakih dan Dwijendra Tattwa)

Nama Besakih diketemukan dalam beberapa sumber, misalnya dalam prasasti Pentaran Besakih A yang berangka tahun 1444 Saka, menyebutkan Desa Huludang ring Basuki dan Desa Hing Basuki, pada prasasti Batu Madeg disebutkan Lurah Mangku Basukir. Dalam prasasti yang tersimpan di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat, yang dinamai Ida Ratu Putra dari tahun 1471 masehi menyebutkan ring Bhatara Gunung Basukir. Dari kata Basukir menjadi Basuki lanjut menjadi Besakih.

Kata Besakih pada mulanya bernama Basuki, yang artinya : rahayu atau selamat, berubah menjadi Basukian : menyelamatkan jagat, berubah menjadi Besakih sampai sekarang. Sehingga dalam Raja Purana Bersakih dan Lontar Markandia Purana disebutkan bahwa: di Besakihlah sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran jagat, melalui upacara :

  1. Bahatara Turun Kabeh
  2. Pannca Bali Krama.
  3. Eka Dasa Rudra
  4. Pengenteg Jadat di Pura Gelap ( Purnama Karo )
  5. Pengurip Bhumi di Pura Ulun Kulkul ( Tilem Ketiga )
  6. Ngusabha Kapat di Penataran Agung ( Purnama Kapat )
  7. Penaung Bayu di Pura Batumadeg ( Purnama Kelima )
  8. Usabha Siram di Batumadeg
  9. Panyeeb Brahma di Pura Kiduling Kreteg ( Purnama Kenem )
  10. Usabha Peneman/mohon panen supaya berhasil di Pura Bagun Sakti
  11. Usabha Gede/mohon kesuburan di Dalem Puri
  12. Usabha Nyungsung/mohon tanaman terhindar dari hama di Pura Kiduling Kreteg.
  13. Usabha Buluh /mohon Tirtha kesuburan tanaman di Pura Banua Besakih
  14. Usabha Ngeed/ menyatukan Dewi Sri dan Bhatara Rambut Sedana yang dipusatkan di Pura Banua dan Penataran Agung.

Tentang upacara Bhatara Turun Kabeh, Panca Wali Krama dan Eka Dasa Rudra lebih jelasnya dapat dilihat dalam Raja Purana Besakih yang berangka tahun 1007 Masehi, yang dipuput oleh Sarwa Sadaka, seperti : Pendeta Siwa, Budha, Sengguhu, Dukuh dan Rsi Swasogata. Termasuk tentang Dewa-dewa yang bersetana di setiap pelinggih dan pura yang ada di Besakih secara panjang lebar diuraikan dalam Kitab Raja Purana Besakih. Raja Purana ini dibuat pada jaman Raja Sri Kresna Kepakisan. Dalam sabda Raja salah satu bainya dalam sloka Raja Purana ini adalah :

“ Hai kamu manusia taatilah titahku, piagam ini telah direstui oleh Para Dewa Nawa Sanga. Jika tidak mentaati piagam ini , semoga kamu sirna dan menjadi lintah. Aku dalam keaadaan berbaring, akhir ucapanku : ‘Om Namobhyo namah, Om sri wastha sattawasar”.

Pura Besakih

Pertama yang perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Pura Besakih adalah suatu wilayah yang ada di Besakih dengan 22 komplek puranya ( 18 pura umum dan 4 Pura Catur Lawa ( Pura Ratu Pasek dengan busana kuning lambang kemakmura, Pura Ratu Pade, dengan busana warna merah lambang keamanan, Pura Ratu Dukuh dengan busana warna putih lambang kesehatan dan Pura Penyarikan dengan busana putih tempat memuja Dewi Saraswati sebagai pengatur administasi negara. Catur Lawa ini dibangun pada jaman Dalem Waturenggong abad ke 15, hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Penataran Agung A (isaka 1444) dan Prasasti Penataran Agung B (isaka 1446).

Tentang keberadaan Besakih tidak bisa lepas dengan Gunung Agung yang merupakan puncak dari wilayah pura Besakih,. Tentang keberadaan Gunung Agung mengalami beberapa kali meletus, sehingga mempengaruhi kondisi Pura Besakih, hal ini dapat dilihat :

  • Pertama : dalam Lontar Babad Gunung Agung dengan tahun saka berupa candra sengkala : Rudhira Bumi (tahun saka 11 atau tahun masehi 89 ) meletus pertama
  • Kedua : tahun saka 13/tahun masehi 91, dengan candra sengkala : Gni Budhara, letusan ini menimbulkan gempa bumi yang hebat selama 2 bulan siang malam, pada saat ini Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Hyang Danuh, datang ke Bali. Hyang Putran Jaya/Hyang Mahadewa berkahyangan di Gunung Agung sebagai Siwa, Hyang Gni Jaya berkahyangan di Lempuyang sebagai Dewa Iswara, dan Dewi Danuh berkahyangan di Gunung dan Danau Batur sebagai Wisnu.
  • Ketiga : Pada Sukra Kliwon Tolu, isaka 70 atau 148 masehi, mulai saat ini di Gunung Agung terdapat Salodaka (air belerang) yang selalu dipakai salah satu sarana upacara Eka Dasa Rudra di Besakih.
  • Keempat : tahun saka 111 (wak sasi wak)/189 masehi
  • Kelima : Soma Kliwon Wariga, isaka 1885 atau 18 Maret 1963, yaitu saat berlangsungnya upacara Eka Dasa Rudra.

1.1 Sejarah Berdirinya Pura Besakih

Untuk menentukan kapan Pura Besakih dibangun ?, sampai sekarang belum ada berani memastikan, namun kalau mengacu pada peninggalan yang ada, seperti unsur megalitik di Pura Batumadeg, punden berundak di Penataran Agung, atau beberapa arca yang terdapat di Penataran Agung, maka Pura Besakih ini tergolong pura yang sangat kuna.

Untuk mengkaji kekunaan tentang pendidirian Pura Besakih, maka akan ditampilkan beberapa sumber yang berkaitan dengan perkembangan jaman yang pernah berkembang di Bali, antara lain sebagai berikut :

1.1.1 Jaman Hindu Bali

Berdasarkan ceritra yang mengacu pada sumber-sumber tradisi, maka yang dianggap sebagai pendiri Pura Besakih adalah Rsi Markandya. Beliau adalah seorang Pendeta Agama Siwa yang berasal dari Gunung Raung, termasuk daerah Basuki

( Jawa Timur ). Beliau datang ke Bali dengan sekelompok pengikutnya, dengan tujuan meluaskan ajarannya serta membuka lahan pertanian untuk pengikutnya. Sang Rsi meninggalkan pengikutnya di Bali, dengan tujuan menjadikan sebagai alat/tumbal berkembangnya Agama Siwa. Akan tetapi karena ditimpa wabah penyakit, para pengikut Rsi Markandya banyak yang meninggal dan ada yang kembali lagi ke Jawa.

Dalam masa berikutnya Rsi Markandya lagi kembali ke Bali untuk kedua kalinya. Agar kedatangannya ini memperoleh keselamatan, sebelum merambah hutan beliau terlebih dahulu mengadakan upacara ritual berupa upacara mendem pedagingan ( Panca Datu ), yang terdiri dari : emas, perak, tembaga, perunggu dan besi. Upacara ini dilakukan disebuah tempat dilereng Gunung Agung, tempat ini kemudian dikenal dengan nama Basukihan.

Dalam perkembangan berikutnya Basukian ini menjadi Pura Basukian sampai sekarang, yang terletak dibagian depan areal Pura Besakih, dengan ciri bangunan pelinggih berupa meru tumpang tujuh.

Para pengikut Rsi Markandya menetap di daerah pegunungan, yang sekarang termasuk wilayah Payangan dan Tegalalang ( Kabupaten Gianyar ). Pura Gunung Raung yang terletak di Desa Taro, dianggap sebagai bukti adanya pemukiman pertama Rsi Markandya beserta para pengikutnya. Kedatangan Rsi Markandya ke Bali diperkirakan pada abad ke VIII. Apabila perkiraan ini benar maka berdirinya Pura Besakih diperkirakan satu abad sebelum berkuasanya Dinasti Warmadewa, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam prasasti Blanjong Sanur.

Sejarah politik dari abad IX sampai abad XIV, direkonstruksi berdasarkan sumber-sumber tertulis, yang dipahatkan pada batu atau perunggu. Salah satu prasasti batu bertahun saka 835 ( 913 Masehi ), menunjuk kebesaran seorang raja Bali bernama : Sri Kesari Warmadewa, yang telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Suwal. Disekitar tahun 913 itu Sri Wira Dalem Kesari, yang orangnya dipersamakan dengan Sri Kesari Warmadewa, telah membangun sebuah tempat pemujaan di Pura Besakih. Sekarang tempat itu dikenal dengan nama Merajan Selonding, sebagai tempat pemujaan terhadap Hyang Tolangkir dari Sri Dalem Kesari sendiri. Sri Wira Dalem Kesari dianggap juga telah melakukan perluasan terhadap bangunan Pura Penataran Agung.

1.1.2 Jaman Bali Kuna

Pemerintahan Raja Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Ratu Mahendradara ( saudara perempuan raja Dharmawangsa yang menguasai Jawa Timur) diperkirakan mulai 989 Masehi. Salah satu putra Udayana adalah Airlangga yang dinobatkan menjadi raja di Daha ( Jawa Timur ) menggantikan Darmawangsa. Pada jaman Pemerintahan Airlangga, terjadi pengaruh Jawa secara intensif ke Bali, proses ini diperkirakan terjadi pada tahun 1001 Masehi.

Pada tahun 1007 Masehi, terjadi suatu peristiwa penting di Besakih, yaitu berupa pelaksanaan upacara besar yang berkaitan dengan masa kewibawaan Raja Mahendradata. Ada dua Prasasti yang memperkuat kejadian itu, yaitu : Prasasti Bhradah yang masih disimpan di Mrajan Selonding di Besakih, dan Sebuah Prasasti yang disimpan di Desa Selat, yang terletak di sebelah Tenggara Pura Besakih.

Ceritra tradisi rakyat Bali, menghubungkan upacara penting itu dengan Bhradah yang menjabat sebagai Bhagawanta Airlangga. Sebuah pelinggih pemujaan yang diperuntukkan bagi pemujaan Bhradah , terdapat di Pura Penataran Agung dan di Pura Merajan Kanginan.

Pada masa itu, di Bali telah dikenal seorang Pendeta Sakti dan berpengaruh, yang bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan telah mewariskan suatu pengaruh yang mendalam terhadap agama dan struktur masyarakat Bali. Bahwa atas petunjuk Mpu Kuturan , telah dilakukan perbaikan dan perluasan terhadap Pura Besakih, yang berkaitan/ berhubungan dengan pristiwa upacara penting dalam tahun 1007 Masehi itu. Sebagai bukti fisik untuk menghormati Jasa Mpu Kuturan dapat dilihat dan diyakini adalah dibangunnya pura Peninjaun untuk pemujaan terhadap Mpu Kuturan.

1.1.3 Jaman Pengaruh Majapahit

Pada Jaman Majapahit berkuasa di Bali kira-kira tahun 1343 Masehi, Pura Besakih lenyap tanpa cerita. Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit, telah berhasil memimpin eksepedisi militer Majaphit untuk menguasai Bali. Untuk memantapkan dan mempertahankan konsep kesetiaan pertuhanan terhadap kerajaan majapahit, maka Gajah Mada menerapkan kebijaksanaan pergantian dinasti sebagai elit penguasa secara menyeluruh di Bali.

Nama Sri Kresna Kepakisan sebagai awal penguasa Bali yang baru, dengan bersetana di Kraton Samprangan ( Kabupaten Gianyar ), untuk melengkapi struktur pemerintahannya/kerajaannya, beliau mengangkat 10 orang dari keturunan Arya, tiga orang Wesia, dengan disertai sejumlah prajurit dan rakyat, serta beberapa pusaka dan pakaian kebesaran. Kepada para pembantu kerajaan ini dibagikan wilayah kekuasaan yang tersebar di seluruh Bali.

Dinasti Kresna Kepakisan pertama beliau berkeraton di Samprangan, tahun 1350-an Masehi Kraton dipindahkan ke Gelgel, dan tahun 1686 Masehi, Kraton beliau lagi dipindahkan ke Klungkung.

Dalam perkembangan berikutnya, Dinasti Kresna Kepakisan mulai meningkatkan pemeliharaan terhadap Pura Besakih bersama para Aryanya. Penyelenggaraan upacara rutin dilaksanakan berpedoman pada sebuah Lontar yang dikenal dengan nama Raja Purana Besakih. Lontar ini memuat tentang tata cara, jenis upakara dan upacara serta waktu pelaksanaan upacara di Besakih. Lontar ini yang dipakai pedoman oleh Raja dan Para Arya serta masyarakat dalam memelihara Pura Besakih baik dari fisik maupun non fisik. Dari sini menunjukkan bahwa Beliau Dinasti Kresna Kepakasinan sangat peduli dengan keberadaan Pura Besakih.

Pada Jaman Dinasti Kresna Kepakisan juga ditulis di Besakih dua lembar tulisan yang terbuat dari papan kayu, yang pertama berangka tahun 1444, dan yang kedua berangka tahun 1458. Kedua isi tulisan ini memuat tentang status desa Besakih, yaitu desa yang bebas dari segala bentuk pajak, karena diberikan tugas untuk memelihara pura Besakih. Kedua tulisan ini oleh masyarakat Hindu, khususnya masyarakat Besakih dianggap sangat keramat , karena dianggap sebagai simbul kehadiran Dewa Bhatara di Pura Penataran Agung.

Pada tahun 1458 Masehi di Besakih terkenal tokoh Manik Angkeran (Putra dari Mpu Sidimantra, dari Jawa) yang membaktikan dirinya kepada Dewa Bhatara di Besakih. Tokoh ini membuat Pamerajan dengan nama Pura Pamerajan Kanginan. Selanjutnya Manik Angkeran diperdewakan dalam sebuah meru bertumpang sembilan di Pura Batu Madeg.

Memperhatikan keberadaan berdirinya Merajan Manik Angkeran di Besakih, maka diperkirakan dibangun pula Merajan para pengikut baginda Raja Dinasti Kresna Kepakisan. Namun tetap Pura Besakih sebagai sentral pelaksanaan ajaran agama, khususnya dalam pelaksanaan upakara dan upacara.

Pada tahun 1460 sampai dengan tahun 1552. Dalem Watu Renggong dari Dinasti Kresna Kepakisan memerintah di Bali. Pada saat ini Bali sangat terangkat dengan kemasyuran dan kejayaannya. Agama dan kebudayaan Hindu mendapat perhatian yang besar, termasuk pemeliharaan dan perluasan Pura Besakih. Pada masa pemerintahannya, Beliau mendatangkan beberapa Pendeta Hindu, seperti Dang Hyang Nirarta (Pendeta Siwa), Dang Hyang Astapaka (Pendeta Budha), dan Dang Hyang Angsoka (Pendeta Siwa).

Dari ketiga Pendeta tersebut di atas, Dang Hyang Nirarta lah yang paling menonjol aktivitas dan jasanya di Bali, seperti Beliau mengadakan Dharma Yatra di Bali dan Lombok, mendirikan beberapa tempat persembahyangan di pesisir pantai, serta memunculkan konsep pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu membangun bangunan Padmasana pada setiap pura sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau juga mengadakan pembaharuan terhadap Pura Besakih dari konsep Tepasana menjadi Padmasana (Padmasana Tiga di Besakih, sebagai stana Siwa sebagai perujudan Hyang Widhi Wasa dalam tiga kemahakuasaanNya, yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Dang Hyang Nirarta juga menyempurnakan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan upakara di Besakih.

Pada Jaman Raja Dalem Watu Renggong, terjadi penyatuan konsep Siwa Budha, konsep Siwa ditanamkan oleh Mpu Kuturan, dilanjutkan oleh Dang Hyang Nirarta dan konsep Budha ditanamkan oleh Dang Hyang Asta Paka, hal ini dapat kita lihat di Hulu Penataran Agung ada arca perujudan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka dalam memimpin upacara di Pura Besakih atas perintah atau permintaan Dalem Watu Renggong.

Dalam masa kedatuan Kraton Semara Pura di Klungkung, pura Besakih terus mendapat perhatian dari raja-raja Klungkung, dan raja-raja Bali lainnya. Pada saat pemerintahan raja Dewa Agung Istri Kania (Dewa Agung Istri Balemas) yang memerintah tahun 1822 sampai dengan 1860, telah dilaksanakan upacara besar di Besakih, yaitu Upacara Eka Dasa Rudra. Dalam upacara ini dikorbankan berjenis-jenis binatang besar, seperti warak, harimau, singa serta yang lainnya. Pada saat Raja inilah terjadi pembagian pengempon pura Besakih oleh raja-raja yang ada di Bali, seperti Karangasem mendapat ngempon Pura Kiduling Kreteg, penataran Agung Raja Klungkung, serta yang lainnya. Pada masa ini juga berkembang dengan pesat tentang pendirian dan pemeliharaan Pedharmn yang dibangun oleh para pendamping raja, untuk menstanakan roh leluhurnya yang sudah dapat menyatu dengan Hyang Tolangkir di Gunung Agung.

Setelah masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kania, pulau Bali diliputi oleh awan perang saudara antar kerajaan. Hal ini terjadi untuk merebut kekuasaan menggantikan Dewa Agung Istri Kania. Sampai terjadi perang berkepanjangan tidak selesai-selesai. Akhirnya Pura Besakih sepertinya terlupakan malahan dibengkalaikan.

1.1.4 Jaman Bali Baru

Pada tahun 1917 di Bali terjadi gempa yang sangat besar, sehingga Pura Besakih hancur, atas dasar itu maka pemerintah Belada ikut berpartisipasi untuk merenopasi Pura Besakih besama-sama dengan raja-raja yang ada di Bali saat itu. Lebih lanjut pada tahun 1933 di Pura Besakih dilangsungkan upacara besar yaitu upacara Panca Bali Krama untuk menyucikan perenopasian Pura Besakih. Pada jaman Bali Baru ini juga Belada ikut berperan dalam rangka memperlancar umat mengadakan persembahyangan ke Pura Besakih dengan cara membuat jalan menuju pura yang terbesar di Bali.

Pada jaman Kemerdekaan yaitu tahun 1960, di Besakih kembali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama, yang diperakarsai oleh Kabupaten-Kabupaten yang pada mulanya menjadi pengelola Pura Besakih, seperti Kab. Kelungkung, Karangasem, Gianyar dan Badung. Selanjutnya pada tahun awal 1963 di Pura Besakih dilangsungkan Upacara Eka Dasa Rudra, oleh umat Hindu di Bali mempercayakan kepada Dewa Agung Klungkung sebagai koordinator penyelenggara upacara. Dari sini masih terlihat bahwa peranan raja sebagai penanggung jawab Pura Besakih masih diakui.

Pada akhir tahun 1963 Pura Besakih mengalami kerusakan, karena digoyang oleh Gunung Agung meletus, pada saat itu Pura Besakih menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, malahan oleh dunia, sehingga datang berbagai bantuan untuk perbaikan Pura Besakih, untuk perbaikan ini diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Upacara Ngenteg Linggih sebagai awal renopasi pura dimulai tahun 1968, dan baru selesai direnopasi pada tahun 1978, untuk upacara penyuciannya diadakan upacara Panca Bali Krama, setahun kemudian yaitu tahun 1979 diadakan upacara Eka Dasa Rudra, yang dihadiri oleh seluruh umat Hindu, malahan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto beserta Ibu Negara.

Jadi Kesimpulan Perkembangan Pura Besakih adalah sebagai berikut :

  1. Rsi Markandya sebagai pendiri Pura Besakih pada abah ke VIII, yang ditandai dengan penanaman Panca Datu di Pura Basukian.
  2. Besakih dikembangkan pembangunan fisiknya oleh Wira Dalem Kesari (Sri Kesari Warmadewa/Sri Guna Pria Dharmapatni : 822-915) termuat dalam Prasasti Blanjong yang berangka tahun 923 Masehi, Raja Bali pertama.
  3. Raja Udayana ( 942- 991 ) Masehi datang Mpu Kuturan dan Mpu Beradah, membangun pelinggih Gedong dan Meru di Besakih, hal ini termuat dalam Prasasti Bradah yang berangka tahun saka 929/1007 Masehi, yang disimpan di Pura Batumadeng.
  4. Dang Hyang Nirartha/Dang Hyang Dwijendra (1489) Masehi, Dalem Waturenggong, menekankan pada upakara dan upacara, akhirnya terlaksana Eka Dasa Rudra pertama. Namun diawali dengan pembuatan Padmasana, khususnya Padma Tiga di Pura Penataran Agung Besakih, sebagai stana : Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
  5. Pada abad ke 19 Kerajaan Kelungkung/Gelgel melemah, akhirnya muncul kerajaan-kerajaan kecil, seperti : Bangli. Gianyar, Badung, Karangasem, Buleleng dan sebagainya. Lama kelamaan munculnya pembagian pengempon di Besakih, seperti Kiduling Kreteg oleh Karangasem, Batumadeg oleh : Bangli, Ulun Kulkul oleh Gianyar, Pura Gelap oleh Klungkung, dan lain sebagainya.

Pura Umum di Besakih

Dalam Raja Purana Besakih, disebutkan 18 Pura umum :

  1. Pura Pesimpangan : sebagai tempat batara simpang/masandekan pada saat sebelum beliau tedun ke Penataran Agung.
  2. Pura Manik Mas : Stana Bhatara Sangkara.
  3. Pura Bangun Sakti : Stana Sang Hyang Ananta Bhoga.
  4. Pura Ulun Kulkul : Stana Dewa Maha Dewa
  5. Pura Banua/Mrajan Kanginan : Stana Mpu Bradah
  6. Pura Mrajan Slonding : Stana Sang Hyang Saraswati
  7. Pura Goa Raja dan Rambut Sedana : Stana Naga Tiga ( Taksaka,Basuki,Anantaboga )dan Rambut Sedana.
  8. Pura Dalem Puri : Stana Siwa Durga
  9. Pura Banua Kawan : Stana Bhatara Sri
  10. Pura Jenggala/Hyang Aluh : Stana Ida Ratu Ayu/Hyang Aluh
  11. Pura Basukian : Stana Hyang Naga Basuki
  12. Pura Peninjauan : Stana Bhatara Rajakerta/Mpu Kuturan
  13. Pura Penataran Agung : Stana Siwa
  14. Pura Gelap : Stana Dewa Iswara
  15. Pura Batumadeg : Stana Dewa Wisnu
  16. Pura Kiduling Kreteg : Stana Dewa Brahma
  17. Pura Tirtha Pingit : Stana Bhatara Tirtha Sakti Maurip
  18. Pura Pangubengan : Stana Naga Taksaka.

Dilihat dari tata letak pura, maka nomor 1 sampai dengan nomor 10, termasuk Pura Soring Amal-amal, dam nomor 11 sampai dengan nomor 18 : Luhuring Amal-amal.

Disamping istilah Pura Umum, juga ada istilah Pura :

1. Pura Catur Loka Phala, yang terdiri dari :

a. Pura Kiduling Kreteg di Selatan (Brahma) : Andakasa

b. Pura Batumadeg di Utara ( Wisnu ) : Ulundanu Batur

c. Pura Gelap di Timur ( Iswara ) : Lempuhyang Luhur

d. Pura Ulun Kulkul di Barat ( Mahadewa ) : Watukaru

2. Pura Catur Lawa, yang terdiri dari :

  1. Pura Ratu Pasek
  2. Pura Ratu Pande
  3. Pura Ratu Panyarikan
  4. Pura Ratu Dukuh Sakti

3. Pura Pamuput, yang tempatnya dekat dengan Pura Batumadeg, yang distanakan : Sang Hyang Pasupati.

Besakih juga dikelilingi oleh oleh 14 Pura Tirtha selain Pura Tirtha Pingit, yaitu : (1) Pura Tirtha Pengayu-ayu, (2) Pura Tirtha Manik Mas, (3) Pura Tirtha Sindu Tunggang, (4) Pura Tirtha Putra, (5) Pura Tirtha Pingit, (6) Pura Tirtha Giri Kusuma, (7) Pura Tirtha Tingkih, (8) Pura Tirtha Lateng, (9) Pura Tirtha Tegal Suci, (10) Pura Tirtha Toya Sah, (11) Pura Tirtha Sudamala, (12) Pura Tirtha Empul, (13) Pura Tirtha Pdiksan, (14) Pura Tirtha Sangku.

Di arel Pura Besakih, juga terdapat 13 Pura Padharman yaitu : (1) Pedharman Ida Dalem ( Dinasti Sri Kresna Kepakisan), (2) Pedharman Arya Apit Yeh, (3) Pedharman Kyayi Telabah, (4) Pedharman Sira Bujangga Wesnawa, (5) Pedharman Kyayi Sukahet, (6) Pedharman Dalem Sukewati, (7) Pedharman Puri Menguwi, (8) Pedharman Puri Kaba-kaba, (9) Pedharman Arya Kebon Tubuh, (10) Pedarman Pungakan Bangbang, (11) Pedharman Badung, (12) Pedharman Dalem Bakas, (13) Pedharman Arya Kanuruhan.

Oleh : Drs. I Ketut Seken, M.Si