Selasa

SEKILAS BESAKIH

Oleh: Drs I Ketut Seken, M.Si

Berbicara Pura Besakih tidak bisa lepas dengan kedatangan Rsi Markandia di Bali pada abad ke VIII, yang diawali dengan merambas hutan dengan anggotanya 8000 orang, namun gagal. setelah itu datang lagi dengan anggota 4000 orang akhirnya berhasil tetapi setelah diawali dengan mengadakan pemujaan berupa penanaman Panca Datu di Basukian/Besakih (Raja Purana Besakih dan Dwijendra Tattwa)

Nama Besakih diketemukan dalam beberapa sumber, misalnya dalam prasasti Pentaran Besakih A yang berangka tahun 1444 Saka, menyebutkan Desa Huludang ring Basuki dan Desa Hing Basuki, pada prasasti Batu Madeg disebutkan Lurah Mangku Basukir. Dalam prasasti yang tersimpan di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat, yang dinamai Ida Ratu Putra dari tahun 1471 masehi menyebutkan ring Bhatara Gunung Basukir. Dari kata Basukir menjadi Basuki lanjut menjadi Besakih.

Kata Besakih pada mulanya bernama Basuki, yang artinya : rahayu atau selamat, berubah menjadi Basukian : menyelamatkan jagat, berubah menjadi Besakih sampai sekarang. Sehingga dalam Raja Purana Bersakih dan Lontar Markandia Purana disebutkan bahwa: di Besakihlah sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran jagat, melalui upacara :

  1. Bahatara Turun Kabeh
  2. Pannca Bali Krama.
  3. Eka Dasa Rudra
  4. Pengenteg Jadat di Pura Gelap ( Purnama Karo )
  5. Pengurip Bhumi di Pura Ulun Kulkul ( Tilem Ketiga )
  6. Ngusabha Kapat di Penataran Agung ( Purnama Kapat )
  7. Penaung Bayu di Pura Batumadeg ( Purnama Kelima )
  8. Usabha Siram di Batumadeg
  9. Panyeeb Brahma di Pura Kiduling Kreteg ( Purnama Kenem )
  10. Usabha Peneman/mohon panen supaya berhasil di Pura Bagun Sakti
  11. Usabha Gede/mohon kesuburan di Dalem Puri
  12. Usabha Nyungsung/mohon tanaman terhindar dari hama di Pura Kiduling Kreteg.
  13. Usabha Buluh /mohon Tirtha kesuburan tanaman di Pura Banua Besakih
  14. Usabha Ngeed/ menyatukan Dewi Sri dan Bhatara Rambut Sedana yang dipusatkan di Pura Banua dan Penataran Agung.

Tentang upacara Bhatara Turun Kabeh, Panca Wali Krama dan Eka Dasa Rudra lebih jelasnya dapat dilihat dalam Raja Purana Besakih yang berangka tahun 1007 Masehi, yang dipuput oleh Sarwa Sadaka, seperti : Pendeta Siwa, Budha, Sengguhu, Dukuh dan Rsi Swasogata. Termasuk tentang Dewa-dewa yang bersetana di setiap pelinggih dan pura yang ada di Besakih secara panjang lebar diuraikan dalam Kitab Raja Purana Besakih. Raja Purana ini dibuat pada jaman Raja Sri Kresna Kepakisan. Dalam sabda Raja salah satu bainya dalam sloka Raja Purana ini adalah :

“ Hai kamu manusia taatilah titahku, piagam ini telah direstui oleh Para Dewa Nawa Sanga. Jika tidak mentaati piagam ini , semoga kamu sirna dan menjadi lintah. Aku dalam keaadaan berbaring, akhir ucapanku : ‘Om Namobhyo namah, Om sri wastha sattawasar”.

Pura Besakih

Pertama yang perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Pura Besakih adalah suatu wilayah yang ada di Besakih dengan 22 komplek puranya ( 18 pura umum dan 4 Pura Catur Lawa ( Pura Ratu Pasek dengan busana kuning lambang kemakmura, Pura Ratu Pade, dengan busana warna merah lambang keamanan, Pura Ratu Dukuh dengan busana warna putih lambang kesehatan dan Pura Penyarikan dengan busana putih tempat memuja Dewi Saraswati sebagai pengatur administasi negara. Catur Lawa ini dibangun pada jaman Dalem Waturenggong abad ke 15, hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Penataran Agung A (isaka 1444) dan Prasasti Penataran Agung B (isaka 1446).

Tentang keberadaan Besakih tidak bisa lepas dengan Gunung Agung yang merupakan puncak dari wilayah pura Besakih,. Tentang keberadaan Gunung Agung mengalami beberapa kali meletus, sehingga mempengaruhi kondisi Pura Besakih, hal ini dapat dilihat :

  • Pertama : dalam Lontar Babad Gunung Agung dengan tahun saka berupa candra sengkala : Rudhira Bumi (tahun saka 11 atau tahun masehi 89 ) meletus pertama
  • Kedua : tahun saka 13/tahun masehi 91, dengan candra sengkala : Gni Budhara, letusan ini menimbulkan gempa bumi yang hebat selama 2 bulan siang malam, pada saat ini Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Hyang Danuh, datang ke Bali. Hyang Putran Jaya/Hyang Mahadewa berkahyangan di Gunung Agung sebagai Siwa, Hyang Gni Jaya berkahyangan di Lempuyang sebagai Dewa Iswara, dan Dewi Danuh berkahyangan di Gunung dan Danau Batur sebagai Wisnu.
  • Ketiga : Pada Sukra Kliwon Tolu, isaka 70 atau 148 masehi, mulai saat ini di Gunung Agung terdapat Salodaka (air belerang) yang selalu dipakai salah satu sarana upacara Eka Dasa Rudra di Besakih.
  • Keempat : tahun saka 111 (wak sasi wak)/189 masehi
  • Kelima : Soma Kliwon Wariga, isaka 1885 atau 18 Maret 1963, yaitu saat berlangsungnya upacara Eka Dasa Rudra.

1.1 Sejarah Berdirinya Pura Besakih

Untuk menentukan kapan Pura Besakih dibangun ?, sampai sekarang belum ada berani memastikan, namun kalau mengacu pada peninggalan yang ada, seperti unsur megalitik di Pura Batumadeg, punden berundak di Penataran Agung, atau beberapa arca yang terdapat di Penataran Agung, maka Pura Besakih ini tergolong pura yang sangat kuna.

Untuk mengkaji kekunaan tentang pendidirian Pura Besakih, maka akan ditampilkan beberapa sumber yang berkaitan dengan perkembangan jaman yang pernah berkembang di Bali, antara lain sebagai berikut :

1.1.1 Jaman Hindu Bali

Berdasarkan ceritra yang mengacu pada sumber-sumber tradisi, maka yang dianggap sebagai pendiri Pura Besakih adalah Rsi Markandya. Beliau adalah seorang Pendeta Agama Siwa yang berasal dari Gunung Raung, termasuk daerah Basuki

( Jawa Timur ). Beliau datang ke Bali dengan sekelompok pengikutnya, dengan tujuan meluaskan ajarannya serta membuka lahan pertanian untuk pengikutnya. Sang Rsi meninggalkan pengikutnya di Bali, dengan tujuan menjadikan sebagai alat/tumbal berkembangnya Agama Siwa. Akan tetapi karena ditimpa wabah penyakit, para pengikut Rsi Markandya banyak yang meninggal dan ada yang kembali lagi ke Jawa.

Dalam masa berikutnya Rsi Markandya lagi kembali ke Bali untuk kedua kalinya. Agar kedatangannya ini memperoleh keselamatan, sebelum merambah hutan beliau terlebih dahulu mengadakan upacara ritual berupa upacara mendem pedagingan ( Panca Datu ), yang terdiri dari : emas, perak, tembaga, perunggu dan besi. Upacara ini dilakukan disebuah tempat dilereng Gunung Agung, tempat ini kemudian dikenal dengan nama Basukihan.

Dalam perkembangan berikutnya Basukian ini menjadi Pura Basukian sampai sekarang, yang terletak dibagian depan areal Pura Besakih, dengan ciri bangunan pelinggih berupa meru tumpang tujuh.

Para pengikut Rsi Markandya menetap di daerah pegunungan, yang sekarang termasuk wilayah Payangan dan Tegalalang ( Kabupaten Gianyar ). Pura Gunung Raung yang terletak di Desa Taro, dianggap sebagai bukti adanya pemukiman pertama Rsi Markandya beserta para pengikutnya. Kedatangan Rsi Markandya ke Bali diperkirakan pada abad ke VIII. Apabila perkiraan ini benar maka berdirinya Pura Besakih diperkirakan satu abad sebelum berkuasanya Dinasti Warmadewa, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam prasasti Blanjong Sanur.

Sejarah politik dari abad IX sampai abad XIV, direkonstruksi berdasarkan sumber-sumber tertulis, yang dipahatkan pada batu atau perunggu. Salah satu prasasti batu bertahun saka 835 ( 913 Masehi ), menunjuk kebesaran seorang raja Bali bernama : Sri Kesari Warmadewa, yang telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Suwal. Disekitar tahun 913 itu Sri Wira Dalem Kesari, yang orangnya dipersamakan dengan Sri Kesari Warmadewa, telah membangun sebuah tempat pemujaan di Pura Besakih. Sekarang tempat itu dikenal dengan nama Merajan Selonding, sebagai tempat pemujaan terhadap Hyang Tolangkir dari Sri Dalem Kesari sendiri. Sri Wira Dalem Kesari dianggap juga telah melakukan perluasan terhadap bangunan Pura Penataran Agung.

1.1.2 Jaman Bali Kuna

Pemerintahan Raja Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Ratu Mahendradara ( saudara perempuan raja Dharmawangsa yang menguasai Jawa Timur) diperkirakan mulai 989 Masehi. Salah satu putra Udayana adalah Airlangga yang dinobatkan menjadi raja di Daha ( Jawa Timur ) menggantikan Darmawangsa. Pada jaman Pemerintahan Airlangga, terjadi pengaruh Jawa secara intensif ke Bali, proses ini diperkirakan terjadi pada tahun 1001 Masehi.

Pada tahun 1007 Masehi, terjadi suatu peristiwa penting di Besakih, yaitu berupa pelaksanaan upacara besar yang berkaitan dengan masa kewibawaan Raja Mahendradata. Ada dua Prasasti yang memperkuat kejadian itu, yaitu : Prasasti Bhradah yang masih disimpan di Mrajan Selonding di Besakih, dan Sebuah Prasasti yang disimpan di Desa Selat, yang terletak di sebelah Tenggara Pura Besakih.

Ceritra tradisi rakyat Bali, menghubungkan upacara penting itu dengan Bhradah yang menjabat sebagai Bhagawanta Airlangga. Sebuah pelinggih pemujaan yang diperuntukkan bagi pemujaan Bhradah , terdapat di Pura Penataran Agung dan di Pura Merajan Kanginan.

Pada masa itu, di Bali telah dikenal seorang Pendeta Sakti dan berpengaruh, yang bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan telah mewariskan suatu pengaruh yang mendalam terhadap agama dan struktur masyarakat Bali. Bahwa atas petunjuk Mpu Kuturan , telah dilakukan perbaikan dan perluasan terhadap Pura Besakih, yang berkaitan/ berhubungan dengan pristiwa upacara penting dalam tahun 1007 Masehi itu. Sebagai bukti fisik untuk menghormati Jasa Mpu Kuturan dapat dilihat dan diyakini adalah dibangunnya pura Peninjaun untuk pemujaan terhadap Mpu Kuturan.

1.1.3 Jaman Pengaruh Majapahit

Pada Jaman Majapahit berkuasa di Bali kira-kira tahun 1343 Masehi, Pura Besakih lenyap tanpa cerita. Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit, telah berhasil memimpin eksepedisi militer Majaphit untuk menguasai Bali. Untuk memantapkan dan mempertahankan konsep kesetiaan pertuhanan terhadap kerajaan majapahit, maka Gajah Mada menerapkan kebijaksanaan pergantian dinasti sebagai elit penguasa secara menyeluruh di Bali.

Nama Sri Kresna Kepakisan sebagai awal penguasa Bali yang baru, dengan bersetana di Kraton Samprangan ( Kabupaten Gianyar ), untuk melengkapi struktur pemerintahannya/kerajaannya, beliau mengangkat 10 orang dari keturunan Arya, tiga orang Wesia, dengan disertai sejumlah prajurit dan rakyat, serta beberapa pusaka dan pakaian kebesaran. Kepada para pembantu kerajaan ini dibagikan wilayah kekuasaan yang tersebar di seluruh Bali.

Dinasti Kresna Kepakisan pertama beliau berkeraton di Samprangan, tahun 1350-an Masehi Kraton dipindahkan ke Gelgel, dan tahun 1686 Masehi, Kraton beliau lagi dipindahkan ke Klungkung.

Dalam perkembangan berikutnya, Dinasti Kresna Kepakisan mulai meningkatkan pemeliharaan terhadap Pura Besakih bersama para Aryanya. Penyelenggaraan upacara rutin dilaksanakan berpedoman pada sebuah Lontar yang dikenal dengan nama Raja Purana Besakih. Lontar ini memuat tentang tata cara, jenis upakara dan upacara serta waktu pelaksanaan upacara di Besakih. Lontar ini yang dipakai pedoman oleh Raja dan Para Arya serta masyarakat dalam memelihara Pura Besakih baik dari fisik maupun non fisik. Dari sini menunjukkan bahwa Beliau Dinasti Kresna Kepakasinan sangat peduli dengan keberadaan Pura Besakih.

Pada Jaman Dinasti Kresna Kepakisan juga ditulis di Besakih dua lembar tulisan yang terbuat dari papan kayu, yang pertama berangka tahun 1444, dan yang kedua berangka tahun 1458. Kedua isi tulisan ini memuat tentang status desa Besakih, yaitu desa yang bebas dari segala bentuk pajak, karena diberikan tugas untuk memelihara pura Besakih. Kedua tulisan ini oleh masyarakat Hindu, khususnya masyarakat Besakih dianggap sangat keramat , karena dianggap sebagai simbul kehadiran Dewa Bhatara di Pura Penataran Agung.

Pada tahun 1458 Masehi di Besakih terkenal tokoh Manik Angkeran (Putra dari Mpu Sidimantra, dari Jawa) yang membaktikan dirinya kepada Dewa Bhatara di Besakih. Tokoh ini membuat Pamerajan dengan nama Pura Pamerajan Kanginan. Selanjutnya Manik Angkeran diperdewakan dalam sebuah meru bertumpang sembilan di Pura Batu Madeg.

Memperhatikan keberadaan berdirinya Merajan Manik Angkeran di Besakih, maka diperkirakan dibangun pula Merajan para pengikut baginda Raja Dinasti Kresna Kepakisan. Namun tetap Pura Besakih sebagai sentral pelaksanaan ajaran agama, khususnya dalam pelaksanaan upakara dan upacara.

Pada tahun 1460 sampai dengan tahun 1552. Dalem Watu Renggong dari Dinasti Kresna Kepakisan memerintah di Bali. Pada saat ini Bali sangat terangkat dengan kemasyuran dan kejayaannya. Agama dan kebudayaan Hindu mendapat perhatian yang besar, termasuk pemeliharaan dan perluasan Pura Besakih. Pada masa pemerintahannya, Beliau mendatangkan beberapa Pendeta Hindu, seperti Dang Hyang Nirarta (Pendeta Siwa), Dang Hyang Astapaka (Pendeta Budha), dan Dang Hyang Angsoka (Pendeta Siwa).

Dari ketiga Pendeta tersebut di atas, Dang Hyang Nirarta lah yang paling menonjol aktivitas dan jasanya di Bali, seperti Beliau mengadakan Dharma Yatra di Bali dan Lombok, mendirikan beberapa tempat persembahyangan di pesisir pantai, serta memunculkan konsep pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu membangun bangunan Padmasana pada setiap pura sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau juga mengadakan pembaharuan terhadap Pura Besakih dari konsep Tepasana menjadi Padmasana (Padmasana Tiga di Besakih, sebagai stana Siwa sebagai perujudan Hyang Widhi Wasa dalam tiga kemahakuasaanNya, yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Dang Hyang Nirarta juga menyempurnakan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan upakara di Besakih.

Pada Jaman Raja Dalem Watu Renggong, terjadi penyatuan konsep Siwa Budha, konsep Siwa ditanamkan oleh Mpu Kuturan, dilanjutkan oleh Dang Hyang Nirarta dan konsep Budha ditanamkan oleh Dang Hyang Asta Paka, hal ini dapat kita lihat di Hulu Penataran Agung ada arca perujudan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka dalam memimpin upacara di Pura Besakih atas perintah atau permintaan Dalem Watu Renggong.

Dalam masa kedatuan Kraton Semara Pura di Klungkung, pura Besakih terus mendapat perhatian dari raja-raja Klungkung, dan raja-raja Bali lainnya. Pada saat pemerintahan raja Dewa Agung Istri Kania (Dewa Agung Istri Balemas) yang memerintah tahun 1822 sampai dengan 1860, telah dilaksanakan upacara besar di Besakih, yaitu Upacara Eka Dasa Rudra. Dalam upacara ini dikorbankan berjenis-jenis binatang besar, seperti warak, harimau, singa serta yang lainnya. Pada saat Raja inilah terjadi pembagian pengempon pura Besakih oleh raja-raja yang ada di Bali, seperti Karangasem mendapat ngempon Pura Kiduling Kreteg, penataran Agung Raja Klungkung, serta yang lainnya. Pada masa ini juga berkembang dengan pesat tentang pendirian dan pemeliharaan Pedharmn yang dibangun oleh para pendamping raja, untuk menstanakan roh leluhurnya yang sudah dapat menyatu dengan Hyang Tolangkir di Gunung Agung.

Setelah masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kania, pulau Bali diliputi oleh awan perang saudara antar kerajaan. Hal ini terjadi untuk merebut kekuasaan menggantikan Dewa Agung Istri Kania. Sampai terjadi perang berkepanjangan tidak selesai-selesai. Akhirnya Pura Besakih sepertinya terlupakan malahan dibengkalaikan.

1.1.4 Jaman Bali Baru

Pada tahun 1917 di Bali terjadi gempa yang sangat besar, sehingga Pura Besakih hancur, atas dasar itu maka pemerintah Belada ikut berpartisipasi untuk merenopasi Pura Besakih besama-sama dengan raja-raja yang ada di Bali saat itu. Lebih lanjut pada tahun 1933 di Pura Besakih dilangsungkan upacara besar yaitu upacara Panca Bali Krama untuk menyucikan perenopasian Pura Besakih. Pada jaman Bali Baru ini juga Belada ikut berperan dalam rangka memperlancar umat mengadakan persembahyangan ke Pura Besakih dengan cara membuat jalan menuju pura yang terbesar di Bali.

Pada jaman Kemerdekaan yaitu tahun 1960, di Besakih kembali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama, yang diperakarsai oleh Kabupaten-Kabupaten yang pada mulanya menjadi pengelola Pura Besakih, seperti Kab. Kelungkung, Karangasem, Gianyar dan Badung. Selanjutnya pada tahun awal 1963 di Pura Besakih dilangsungkan Upacara Eka Dasa Rudra, oleh umat Hindu di Bali mempercayakan kepada Dewa Agung Klungkung sebagai koordinator penyelenggara upacara. Dari sini masih terlihat bahwa peranan raja sebagai penanggung jawab Pura Besakih masih diakui.

Pada akhir tahun 1963 Pura Besakih mengalami kerusakan, karena digoyang oleh Gunung Agung meletus, pada saat itu Pura Besakih menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, malahan oleh dunia, sehingga datang berbagai bantuan untuk perbaikan Pura Besakih, untuk perbaikan ini diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Upacara Ngenteg Linggih sebagai awal renopasi pura dimulai tahun 1968, dan baru selesai direnopasi pada tahun 1978, untuk upacara penyuciannya diadakan upacara Panca Bali Krama, setahun kemudian yaitu tahun 1979 diadakan upacara Eka Dasa Rudra, yang dihadiri oleh seluruh umat Hindu, malahan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto beserta Ibu Negara.

Jadi Kesimpulan Perkembangan Pura Besakih adalah sebagai berikut :

  1. Rsi Markandya sebagai pendiri Pura Besakih pada abah ke VIII, yang ditandai dengan penanaman Panca Datu di Pura Basukian.
  2. Besakih dikembangkan pembangunan fisiknya oleh Wira Dalem Kesari (Sri Kesari Warmadewa/Sri Guna Pria Dharmapatni : 822-915) termuat dalam Prasasti Blanjong yang berangka tahun 923 Masehi, Raja Bali pertama.
  3. Raja Udayana ( 942- 991 ) Masehi datang Mpu Kuturan dan Mpu Beradah, membangun pelinggih Gedong dan Meru di Besakih, hal ini termuat dalam Prasasti Bradah yang berangka tahun saka 929/1007 Masehi, yang disimpan di Pura Batumadeng.
  4. Dang Hyang Nirartha/Dang Hyang Dwijendra (1489) Masehi, Dalem Waturenggong, menekankan pada upakara dan upacara, akhirnya terlaksana Eka Dasa Rudra pertama. Namun diawali dengan pembuatan Padmasana, khususnya Padma Tiga di Pura Penataran Agung Besakih, sebagai stana : Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
  5. Pada abad ke 19 Kerajaan Kelungkung/Gelgel melemah, akhirnya muncul kerajaan-kerajaan kecil, seperti : Bangli. Gianyar, Badung, Karangasem, Buleleng dan sebagainya. Lama kelamaan munculnya pembagian pengempon di Besakih, seperti Kiduling Kreteg oleh Karangasem, Batumadeg oleh : Bangli, Ulun Kulkul oleh Gianyar, Pura Gelap oleh Klungkung, dan lain sebagainya.

Pura Umum di Besakih

Dalam Raja Purana Besakih, disebutkan 18 Pura umum :

  1. Pura Pesimpangan : sebagai tempat batara simpang/masandekan pada saat sebelum beliau tedun ke Penataran Agung.
  2. Pura Manik Mas : Stana Bhatara Sangkara.
  3. Pura Bangun Sakti : Stana Sang Hyang Ananta Bhoga.
  4. Pura Ulun Kulkul : Stana Dewa Maha Dewa
  5. Pura Banua/Mrajan Kanginan : Stana Mpu Bradah
  6. Pura Mrajan Slonding : Stana Sang Hyang Saraswati
  7. Pura Goa Raja dan Rambut Sedana : Stana Naga Tiga ( Taksaka,Basuki,Anantaboga )dan Rambut Sedana.
  8. Pura Dalem Puri : Stana Siwa Durga
  9. Pura Banua Kawan : Stana Bhatara Sri
  10. Pura Jenggala/Hyang Aluh : Stana Ida Ratu Ayu/Hyang Aluh
  11. Pura Basukian : Stana Hyang Naga Basuki
  12. Pura Peninjauan : Stana Bhatara Rajakerta/Mpu Kuturan
  13. Pura Penataran Agung : Stana Siwa
  14. Pura Gelap : Stana Dewa Iswara
  15. Pura Batumadeg : Stana Dewa Wisnu
  16. Pura Kiduling Kreteg : Stana Dewa Brahma
  17. Pura Tirtha Pingit : Stana Bhatara Tirtha Sakti Maurip
  18. Pura Pangubengan : Stana Naga Taksaka.

Dilihat dari tata letak pura, maka nomor 1 sampai dengan nomor 10, termasuk Pura Soring Amal-amal, dam nomor 11 sampai dengan nomor 18 : Luhuring Amal-amal.

Disamping istilah Pura Umum, juga ada istilah Pura :

1. Pura Catur Loka Phala, yang terdiri dari :

a. Pura Kiduling Kreteg di Selatan (Brahma) : Andakasa

b. Pura Batumadeg di Utara ( Wisnu ) : Ulundanu Batur

c. Pura Gelap di Timur ( Iswara ) : Lempuhyang Luhur

d. Pura Ulun Kulkul di Barat ( Mahadewa ) : Watukaru

2. Pura Catur Lawa, yang terdiri dari :

  1. Pura Ratu Pasek
  2. Pura Ratu Pande
  3. Pura Ratu Panyarikan
  4. Pura Ratu Dukuh Sakti

3. Pura Pamuput, yang tempatnya dekat dengan Pura Batumadeg, yang distanakan : Sang Hyang Pasupati.

Besakih juga dikelilingi oleh oleh 14 Pura Tirtha selain Pura Tirtha Pingit, yaitu : (1) Pura Tirtha Pengayu-ayu, (2) Pura Tirtha Manik Mas, (3) Pura Tirtha Sindu Tunggang, (4) Pura Tirtha Putra, (5) Pura Tirtha Pingit, (6) Pura Tirtha Giri Kusuma, (7) Pura Tirtha Tingkih, (8) Pura Tirtha Lateng, (9) Pura Tirtha Tegal Suci, (10) Pura Tirtha Toya Sah, (11) Pura Tirtha Sudamala, (12) Pura Tirtha Empul, (13) Pura Tirtha Pdiksan, (14) Pura Tirtha Sangku.

Di arel Pura Besakih, juga terdapat 13 Pura Padharman yaitu : (1) Pedharman Ida Dalem ( Dinasti Sri Kresna Kepakisan), (2) Pedharman Arya Apit Yeh, (3) Pedharman Kyayi Telabah, (4) Pedharman Sira Bujangga Wesnawa, (5) Pedharman Kyayi Sukahet, (6) Pedharman Dalem Sukewati, (7) Pedharman Puri Menguwi, (8) Pedharman Puri Kaba-kaba, (9) Pedharman Arya Kebon Tubuh, (10) Pedarman Pungakan Bangbang, (11) Pedharman Badung, (12) Pedharman Dalem Bakas, (13) Pedharman Arya Kanuruhan.

Oleh : Drs. I Ketut Seken, M.Si

Tidak ada komentar:

Posting Komentar